Tanggung Jawab Siapa? Ketika Kekayaan Alam Dijarah, dan Kursi Kekuasaan Tetap Nyaman
Wilayah Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar/Padang) baru-baru ini menghadapi serangkaian bencana hidrometeorologi parah, terutama banjir bandang dan tanah longsor yang dipicu oleh curah hujan ekstrem. Peristiwa ini melampaui banjir biasa, curah hujan yang sangat tinggi mengakibatkan debit air sungai meluap secara cepat dan membawa material seperti lumpur, batu, dan kayu, yang mengindikasikan adanya degradasi lingkungan yang signifikan di hulu.
Hukum Sebab Akibat
Di Sumut, khususnya di daerah seperti Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, banjir dan longsor telah menelan banyak korban jiwa dan menghancurkan akses vital, menyebabkan ribuan warga terpaksa mengungsi. Sementara itu, di Sumatera Barat, wilayah Padang, Agam, dan Padang Panjang juga mengalami kerusakan infrastruktur parah dan kehilangan nyawa, menegaskan bahwa bencana kali ini bukan semata-mata fenomena alam, tetapi juga merupakan peringatan keras atas kerusakan ekologis seperti deforestasi dan pertambangan ilegal yang melemahkan daya dukung alam.
Skala tragedi ini tercermin dari jumlah korban jiwa dan hilang yang mencapai ratusan di ketiga provinsi, serta puluhan ribu warga yang mengungsi, sebuah cerminan betapa rentannya permukiman di dekat daerah aliran sungai (DAS) dan lereng perbukitan. Di Aceh, sejumlah kabupaten menghadapi isolasi total karena rusaknya jembatan dan terputusnya jalan akibat banjir bandang dan luapan.
Dampak kerugian materiel mencapai ratusan miliar, menghancurkan rumah, fasilitas publik, hingga jaringan jalan nasional. Upaya penanganan darurat, termasuk penggunaan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) oleh BMKG untuk mengurangi intensitas hujan di lokasi penyaluran bantuan, menunjukkan tingkat kedaruratan yang tinggi.
Dua wajah pejabat Indonesia
Akibat dari bencana alam ini Pejabat pemerintah selaku pemangku kekuasaan menjadi sorotan dimana mereka memiliki andil dalam bencana ini, mereka acap kaki "bermain dua kaki" ini sering terlihat dalam pidato dan kebijakan formal pejabat publik.
Mereka tampil di muka umum dengan retorika yang kuat menentang penjarahan sumber daya alam, menjanjikan perlindungan hutan, dan berkomitmen pada agenda iklim dan konservasi. Narasi ini bertujuan membangun citra pro-lingkungan, terutama untuk memenuhi tuntutan domestik dari aktivis lingkungan, serta mematuhi standar dan tekanan internasional.
Namun, ironisnya, di balik layar, tindakan mereka seringkali bertolak belakang secara fundamental. Pejabat yang sama ini diduga kuat membiarkan, atau bahkan memfasilitasi, izin-izin eksploitasi yang merusak, baik melalui pemangkasan regulasi yang ketat, memperlambat penegakan hukum terhadap pelanggar lingkungan besar, atau menjaga hubungan dekat dengan konglomerat industri ekstraktif. Tindakan ini menciptakan jurang lebar antara perkataan (retorika) dan perbuatan (implementasi), yang secara efektif merusak upaya konservasi yang telah dicanangkan.
Sikap ambivalen ini, di mana seorang pejabat secara vokal menolak kerusakan alam namun secara pasif atau aktif membiarkannya terjadi, berakar pada konflik kepentingan yang kompleks. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menjaga citra publik dan komitmen nasional. Di sisi lain, terdapat tekanan ekonomi dan politik yang kuat, di mana izin eksploitasi alam (seperti perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur) seringkali menjadi sumber utama pendanaan politik atau percepatan pertumbuhan ekonomi jangka pendek.
Peran ganda ini menciptakan kegagalan sistemik dalam perlindungan lingkungan; ketika pejabat kunci menunjukkan kelemahan atau keberpihakan, penegakan hukum di tingkat bawah menjadi tumpul, dan pihak-pihak yang merusak alam merasa terlindungi. Dampak akhirnya adalah kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan—deforestasi, bencana hidrometeorologi, dan hilangnya keanekaragaman hayati—yang harus ditanggung oleh masyarakat luas, jauh melampaui kepentingan politik atau ekonomi segelintir elite.
Pembalakan Hutan dan Ambisi Ekonomi Pemerintah
Ambisi Pemerintah Indonesia terhadap sawit didorong oleh urgensi ekonomi dan posisi geopolitik sebagai produsen CPO global. Sawit adalah komoditas strategis yang vital bagi devisa negara, neraca perdagangan, dan ketahanan energi (program biodiesel). Ekspansi ini juga diandalkan untuk mengentaskan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja di pedesaan, didukung oleh upaya keberlanjutan seperti sertifikasi ISPO.
Namun, di balik manfaat ekonomi, terdapat konsekuensi yang mendalam dan berlawanan. Secara ekologis, konversi hutan primer dan lahan gambut memicu deforestasi masif, hilangnya keanekaragaman hayati (seperti Orangutan), dan peningkatan emisi karbon yang signifikan. Secara sosiokultural, percepatan ekspansi menjadi sumber utama konflik agraria berkepanjangan antara korporasi dan masyarakat adat, menyoroti ketimpangan sosial dan perlunya harmonisasi antara pertumbuhan ekonomi dan prinsip lingkungan-sosial yang adil.
Pelajaran bagi Pemerintah Indonesia
Bencana banjir bandang ini menjadi pengingat yang menyakitkan tentang perlunya sinergi penanggulangan bencana yang lebih solid dan mendesak, sekaligus kebutuhan untuk memulihkan fungsi hutan dan menjaga keseimbangan alam demi mencegah terulangnya duka yang sama di masa depan.

Posting Komentar